Oleh : Fauzan Hidayat
Reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Erick Thohir baru-baru ini memang menuai decak kagum dari berbagai pihak. Pada hakikatnya, merencanakan sesuatu yang bersifat kebaikan itu umumnya mudah dilakukan oleh banyak orang.
Namun, permasalahannya adalah pada realisasi. Sanggup atau tidaknya menjalankan sebuah rencana besar adalah sesuatu yang amat berat untuk dilakukan. Berbicara mengenai gebrakan dalam sebuah organisasi besar yang berskala nasional seperti BUMN adalah perihal yang boleh dikatakan sensitif dan memiliki dampak luas bagi kepentingan berbagai pihak.
Resiko seorang pimpinan yang mengambil suatu keputusan terkait dengan budaya organisasi yang telah lama eksis tentunya sangat besar.
Sudah menjadi rahasia umum di negara-negara berkembang seperti Indonesia bahwa sikap yang objektif merupakan barang langka yang sulit ditemukan dari seorang pejabat.
Hal ini tidak lain disebabkan oleh kekeliruan jalan yang diambil saat proses menduduki posisi pada jabatan yang cenderung melalui persaingan yang tidak sehat.
Umumnya karena ada backingan dan dengan resiko ketika menjabat pada jabatan tersebut tidak akan leluasa dapat berbuat.
Merefleksikan gebrakan yang dilakukan Erict Thohir di BUMN kepada apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kepala daerah baik pada level Pemda Tk I maupun Tk II terlihat sangat sulit bisa terjadi.
Pemerintah Daerah memiliki peranan penting dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik/good goverment yang memegang estafet kepemimpinan dari pemerintah pusat melalui desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan guna memenuhi tujuan utama yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merata.
Oleh karenanya, amat penting kiranya gebrakan reformasi birokrasi, peningkatan kualitas layanan publik dan afirmasi perekonomian masyarakat secara masif segera dilakukan.
Berbagai upaya yang ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut, melalui program-program unggulan dari kementerian terkait disambut dengan baik oleh beberapa daerah dengan ragam inovasi baik dari aspek peningkatan perekonomian, layanan publik maupun reformasi birokrasi.
Bukti antusiasme pemerintah daerah ini pula dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, seperti : Sepatu Jolifa (Sistem Perpustakaan Terpadu Jogja), BATIK (bandung Anti Kantong Plastik), SIMPATIK (Sistem Pelayanan Tiga Puluh Detik) Marauke dan berbagai inovasi lainnya baik pada level pemerintahan kabupaten/kota, provinsi, lembaga hingga kementerian yang terangkum dalam daftar Top 45 Kompetensi Inovasi Pelayanan Publik 2019 (Kominfo Edisi 14/08/2019).
Disisi lain, tidak sedikit pula daerah yang tidak mampu berbuat apa-apa dengan hanya menjalankan program-program rutin tanpa suatu gebrakan inovasi yang berarti. Kondisi ekonomi masyarakat tetap stagnan bahkan melemah, layanan publik semakin bobrok dan tidak tersentuh sedikitpun oleh reformasi birokrasi.
Konflik internal yang tak berkesudahan antara Bupati dan Wakilnya, antara Bupati dan DPRD serta antara Bupati dan Tim Sukesnya. Pada titik ini pula, publik hanya bisa terdiam dan tidak punya semangat untuk bepartisipasi dalam pembangunan daerah sehingga penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya bersifat spending money.
Satu lawan Tiga
Berbicara mengenai inovasi kemajuan pada level pemerintah daerah tentunya kita sepakat bahwa tidak ada yang tidak menginginkan perubahan yang berarti bagi daerahnya terlebih seorang kepala daerah.
Namun, sebagaimana umumnya diketahui bahwa tantangan politik balas jasa yang dihadapi seorang kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan di tingkat daerah demikian beratnya. Akan menjadi lebih kompleks seiring dengan belum adanya ketentuan yang mengatur bagaimana mengelola tantangan tersebut.
Perihal politik balas jasa, setidaknya ada tiga tantangan besar sekaligus penghambat bagi seorang kepala daerah dalam menginisiasi suatu gebarakan atau reformasi di daerahnya. Ketiga tantangan dan hambatan itu adalah Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Tim Sukses (Timses).
Pertama, Wakil. Ibarat kata “ada dua matahari” yang menggambarkan dualisme kepemimpinan suatu daerah yang disebabkan inharmonisasi antara seorang bupati dengan wakilnya atau seorang gubernur dengan wakilnya sehingga tidak jarang kita melihat mereka secara masing-masing bekerja dengan sendirinya.
Terkadang pula program yang dijalankan saling tumpang tindih, para teknokrat dibawahnya dibuat menjadi bingung yang pada akhirnya mau tidak mau harus memihak kepada salah satunya dengan segala resiko yang ada.
Akibat dari dualisme kepemimpinan ini visi dan misi yang sebelumnya secara bersama-sama dicanangkan akhirnya jauh melenceng dari kenyataan program yang terlaksana.
Oleh karenanya, menjadi tantangan besar bagi seorang kepala daerah bagaimana ia harus memiliki komitmen yang jelas dan konsekuen dengan wakilnya jauh hari sebelum resmi menduduki jabatan kepala daerah.
Kedua. DPRD. Kehadiran legislatif dalam sistem pemerintahan negara kita memang tidak bisa dipungkiri sangat bararti sebagai penyeimbang jalannya roda pemerintahan yang dilaksanakan oleh pihak eksekutif.
Kiprah mereka sebagai wakil rakyat seharusnya dapat menggambarkan bahwa rakyat melihat dan mengawasi apakah penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat atau malah sebaliknya.
Namun pada kenyataannya tidak jarang kita melihat para legislator mengambil peran seorang kepala daerah dalam mengatur roda pemerintahan, berpengaruh besar terhadap penugasan seorang ASN bahkan dengan leluasa dapat me-remote kepala daerah agar bertindak seperti yang ia inginkan.
Kenyataan ini tidak lain disebabkan karena memang muaranya adalah ketergantungan kepala daerah sangat besar terhadap sang legislator dalam kontestasi pemilihan umum sehingga mesti berujung kepada suatu kontrak “bawah meja” yang mesti terlaksana dengan mengesampingan kepentingan rakyat.
Ketiga, Timses. Peran tim sukses dalam keberhasilan calon kepala daerah memang tidak bisa dinafikan. Umumnya timses memiliki jasa yang sangat besar. Timses dapat berasal dari berbagai latar belakang profesi mulai dari pengusaha, politisi, akademisi, tokoh masyarakat, aparat bahkan mahasiswa/pelajar.
Tak pelak, masing-masing mereka memiliki kepentingan yang beragam yang terbungkus dalam motif mendukung seorang kandidat, dan tidak sedikit pula men-suport multikandidat sebagai jalan mencari aman dengan harapan “siapapun yang menang kita aman”.
Nah, pada praktiknya pengaruh politik balas jasa dari para timses ini pun sangat mengganggu objektifitas dan profesionalitas seorang kepala daerah dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Kabinet Pusat ≠ Kabinet Daerah
Tradisi klasik yang boleh dikatakan cukup negatif ini kemudian menuai “permakluman” dari sebagian besar masyarakat melihat kenyataan adanya politik balas jasa. Mayoritas publik malah menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah.
Padahal peran sebagai social control amat penting dari masyarakat sebagai objek pelaksanaan suatu kebijakan. Disisi lain, perumus kebijakan/pemerintah pusat belum memberikan jawaban yang jelas berupa regulasi yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang memiliki dampak besar terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam skala pemerintahan daerah ini.
Sepertinya policy-maker di tingkat nasional juga akan sangat sulit membuat kebijakan yang mengatur permasalahan klasik ini, karena sejatinya fenomena politik balas jasa juga sangat jelas terlihat di tubuh pemerintah pusat dimana peran partai politik begitu besar dalam suksesnya seorang kandidat presiden menduduki jabatannya sehingga parpol tersebut kemudian berhak mendapatkan tempat di kursi kabinet.
Akan tetapi di level pemerintah pusat, sistem yang ada memang mengatur bahwa partai politik seolah-olah menjadi satu-satunya kendaraan yang oleh orang-orang berkepentingan dijadikan sebagai tumpangan menuju kabinet atau pejabat politik khususnya jabatan Menteri.
Berkaca dari negara-negara maju dalam hal mengelola permasalahan politik balas jasa seperti Inggris, Jerman, Amerika, Jepang, Australia dll memang telah diatur sedemikian rupa secara sistematis dan profesional. Miftah Thoha dalam bukunya yang berjudul “Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia” (2012) menyebutkan bahwa negara-negara tersebut tidak memungkiri bahwa parpol mesti mendapatkan tempat dalam mengisi posisi penting pemerintahan.
Namun, mereka sangat menekankan kompetensi, kapabilitas dan profesionalisme seorang pejabat mekipun berasal dari parpol pendukung utama. Seperti di Inggris, seorang menteri mesti berasal dari parpol, tapi harus kompeten, berkualitas dan berbobot yang memahami tugas dan fungsi dapartemen yang akan dipimpinnya.
Di Jerman, pimpinan kabinet juga ditunjuk dari koalisi parpol pendukung dan bargaining position-nya dari sisi kompetensi amat menentukan. Begitupula di Amerika Serikat, jabatan menteri diampu oleh mereka yang telah teruji kualitas, kompetensi dan keahliannya dihadapan kongres (Thoha, 2014:45).
Dapat disimpulkan akhirnya bahwa polemik politik balas jasa di level pusat telah terkondisikan dengan ketentuan yang ada terlebih sistem yang kita anut adalah presidensial. Hanya saja perlu assesstment yang lebih ketat dalam menjaring pimpinan kabinet. Sebaliknya, bagi pemerintah daerah “kebinet” diisi oleh para teknokrat yang tidak boleh berafiliasi dengan parpol manapun.
Namun dengan kenyataan bahwa norma yang menegaskan haramnya berparpol bagi para teknokrat/ASN tersebut mau tidak mau wajib ternodai dengan dinamika kenyataan politik praktis yang tidak terbendung.
Oleh karenanya, perlu diatur kiranya regulasi yang menjawab persoalan politik balas jasa yang tidak terelakkan di level pemda ini. Sebagaimana pemerintah pusat telah memiliki wadah menampung koalisi parpol dalam bentuk lembaga-lembaga kementerian maupun non kementerian yang diisi oleh politikus yang dengannya paling tidak dapat mengurangi intervensi yang bisa menghambat pekerjaan seorang pemimpin negara.
Begitu pula hendaknya pada tingkat lokal, pilihan hanya dua yaitu membentuk ketentuan yang jelas dan tepat untuk meng-iya-kan keberadaan mereka atau mereformasi sistem pemilihan kepala daerah sesuai dengan pertimbangan dan hasil kajian analisa cost and benefit yang objektif.
Semua ini demi meningkatkan kreatifitas dan inovasi tanpa batas dan tanpa pressure yang dilakukan oleh Kepala Daerah yang berorientasi pada kepentingan publik baik dari aspek layanan publik, reformasi birokrasi maupun perekonomian.
Penulis Mahasiswa Pascasarjana
Magister Ilmu Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar