‘Majikanku mengangkat tangannya lalu menghujamkan tinjunya sekuat tenaga kepadaku, kemudian membentak “Apa urusanmu dengan ini, kembalilah bekerja!” Akupun kembali bekerja’.
Demikian penggalan kisah Salman Al-Farisi radhiallahu’anhu seorang sahabat Nabi shallahu alaihi wa sallam yang ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang berjudul “Biografi 60 Sahabat Nabi”.
Salman adalah seorang sahabat yang berkebangsaan persia, saat itu beliau berstatus sebagai budak seorang Yahudi.
Pukulan keras itu menimpa wajahnyanya karena beliau tidak menyadari statusnya sebagai seorang budak saking penasarannya dengan kebenaran (Islam) saat beliau mendengar percakapan Sang Majikan tentang kedatangan seseorang yang mengaku Nabi.
Sebelumnya, Salman adalah seorang Majusi yang sangat mengagumi ajaran Nasrani. Ketika masih berusia belasan tahun beliau berpindah agama dari Majusi ke Nasrani tanpa sepengetahuan Ayahnya. Namun, ketika Sang Ayah mendapatinya telah “murtad” dari agama nenek moyangnya maka Salman pun dibelenggu dan dipenjara oleh Sang Ayah.
Tekad yang begitu bulat untuk mencari kebenaran sejati menjadikan Salman begitu nekat dengan memutus rantai dan meloloskan diri dari penjara, mengikuti jejak dan basis agama nasrani yang terdekat yaitu Syiria. Tinggal dengan pendeta dan menjadi pelayannya.
Terus saja Salman seperti itu, senantiasa taat, berbakti sembari belajar demi mendapatkan kebenaran sejati tentang keyakinan yang murni dari pendeta ke pendeta. Hingga tibalah ketentuan Allah Ta’ala ditetapkan bagi Salman yaitu saat beliau berjumpa dengan seorang pendeta sekaligus pemimpin di Mosul.
Salman berkata: “Saat ajal hampir menjemputnya, akupun menanyakan kepadanya: Siapakah yang engkau wasiatkan agar aku mengikutinya? Ia menjawab”:
“Anakku, tidak ada seorangpun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau kepadanya. Tetapi, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Ia nanti akan hijrah di suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu hitam. Seandainya kamu dapat pergi kesana, temuilah dia, Ia mempunya tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan sedekah, namun bersedia menerima hadiah, dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila engkau melihatnya, engkau pasti mengenalinya”.
Allah Ta’ala pun memudahkan langkah Salman untuk berjumpa dengan Rasulullah shallalhu alaihi wa sallam. Namun, Allah Taala masih berkehendak menguji keimanannya dengan menjadikannya sebagai budak seorang Yahudi terlebih dahulu.
Karena ketika dalam perjalanan Salman menuju kediaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Salman secara tidak sengaja berjumpa dengan rombongan dari jazirah arab yang ia anggap akan menuntunnya berjumpa dengan Sang Rasul.
Akan tetapi, rombongan tersebut membawa Salman sampai ke suatu negeri yang bernama Wadil Qura . Mereka menzhaliminya dan menjualnya kepada seorang Yahudi.
Takdir menjadi seorang budak ternyata tidak mempengaruhi tekad Salman yang begitu kuat untuk memeluk ajaran yang benar, terlebih Salman secara fisik berada di negeri yang sama dengan Sang Nabi.
Di waktu-waktu yang tersisa setelah lelah bekerja, Salman menyempatkan diri berjumpa dengan Rasulullah dan memastikan tanda-tanda yang disampaikan Sang Pendeta sebelumnya adalah benar ada pada diri Rasulullah shallahu alaihi wasallam.
Ternyata apa yang Salman temukan pada diri Rasulullah adalah persis seperti yang diwasiatkan Sang Pendeta. Rasulullah tidak menerima sedekah, tapi beliau menerima hadiah. Rasulullah memiliki tanda kenabian di bagian atas punggungnya. Atas izin Allah, sempurnalah keyakinan Salman kepada Sang Nabi seiring dengan lantunan syahadat yang terucap dari bibirnya.
Allah Ta’ala membukakan rahmat-Nya bagi Salman dengan membebaskannya melalui perantara Rasulullah dan Para Sahabat, hidup sebagai seorang muslim yang bebas merdeka, serta ikut serta bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan selanjutnya.
SIAPA KITA DIBANDING SALMAN?
Keragu-raguan yang ada di hati Salman Al Farisi radhiallahuanhu tersebut berangkat dari ajaran agama Majusi yang memang sangat menyimpang dari kebenaran. Beliau tidak menyia-nyiakan usia mudanya untuk sekuat tenaga mengarungi perjalanan spiritual menuju Rabb-nya.
Allah Ta’ala pun tidak membiarkannya sendirian, Allah menuntun jalannya untuk berjumpa dengan Sang Nabi shallalhu alaihi wa sallam hingga ia pun memeluk agama yang hanif ini.
Allah Ta’ala berfirman :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah salat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS: Ar-Rum : 30)
Fenomena saat ini bahwa dalam agama Islam terjadi banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang jauh dari ketentuan sebagaimana ajaran murni yang dibawa oleh Al-Musthofa shallallahualaihi wasallam.
Maka, adalah penting bagi seorang generasi penerus Islam memiliki keingintahuan yang tinggi tentang kebenaran sejati dari satu-satunya ajaran yang diridhoi oleh Allah Ta’ala ini.
Tidakkah kita risih dengan berbagai penyimpangan tersebut? Ketika keraguan di dalam hati mulai menyeruak, adakah kita mengambil langkah untuk memurnikan agama dan akidah kita sebagaimana yang dilakukan oleh Salman Al-Farisi?
Kita bisa melihat praktek-praktek beragama di tengah-tengah umat Islam sendiri, betapa banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Mulai dari kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan kian kemari semakin masif dan mendorong kehancuran umat.
Disisi lain, ketika para Da’i menyeru untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni, maka akan banyak dan besar pula penentangan dari pelaku dosa tersebut.
Memang, sejatinya ini lah sebuah sunnatullah dan keniscayaan bahwa sebagaimana keberadaan Nabi Ibrahim ‘alaishissalam, berbarengan pula dengan keberadaan Namrud. Begitu pula keberadaan Nabi Musa ‘alaihissalam dibersamai dengan eksistensi Fir’aun.
Pun keberadaan baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu diiringi oleh gencaranya tantangan dan rintangan dari kaum Kafir Quraisy.
Tidak ubah pada zaman now, keberadaan orang-orang shalih yang menyeru kepada tauhid, menyeru kepada kemurnian sunnah juga akan selalu beriringan dengan para pelaku keyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan.
Akan tetapi, Allah Taala akan senantiasa menjaga agama ini melalui peran orang-orang shalih yang dicintainya yang menyeru kepada ajaran Islam yang murni.
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”. (HR. Abu Dawud, Al-Hakim, dan Ath-Thabarani).
Muhammad Syams al-Haqq dalam kitabnya “Aunul Ma’bud” menjelaskan maksud “memperbaharui (urusan) agama” adalah menghidupkan kembali dan menyerukan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallahu alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan manusia, yaitu dengan menyebarkan ilmu yang benar, mengajak manusia kepada tauhid dan sunnah Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, serta memperingatkan mereka untuk menjauhi perbuatan kesyirikan dan kebid’ahan.
Namun, pertanyaan yang timbul setelahnya adalah sebagai generasi Islam dimana kita memosisikan diri kita sebagai ummat Nabi yang Mulia Muhammad shallahu alaihi wa sallam di tengah-tengah kontradiksi antara haq dan yang bathil ini?
Tugas kita untuk mencari kebenaran tidaklah seberat Salman. Keragu-raguan yang ada di hati Salman dalam agama yang memang melenceng tidaklah sama dengan keragu-raguan di dalam hati kita. Karena sejatinya ajaran Islam telah paripurna disampaikan oleh Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak seperti ajaran Majusi dan agama lainnya selain Islam yang sarat akan tanda tanya dari pemeluknya sendiri. Allah Taala berfirman :
“...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al-Maidah : 3)
Dalam ayat yang lain Allah Taala juga berfirman :
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam ....” (QS. Ali Imran : 19)
Tugas kita hanyalah bagaimana agar bisa mampu memurnikan ajaran agama Islam ini ditengah-tengah maraknya penyimpangan dari berbagai sudut Islam khususnya dari sisi akidah. Sebagai generasi muda Islam, sudah selayaknya kita menyadari bahwa kita adalah penyambung estafet dakwah.
Tentunya semua dimulai dari langkah awal bagaimana agar kita mampu mendakwahi diri sendiri dengan senantiasa memohon kepada Allah agar diberikan hidayah dan taufiq untuk istiqomah dalam keimanan dan ketaqwaaan. Bukankah Rasulullah shallahu alaihi wa sallam telah menegaskan ciri dari seseorang yang Allah kehendaki kebaikan untuk seorang hamba adalah dengan memudahkannya memperoleh ilmu agama.
Dari Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabada :
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Tidak berheti sampai disitu, kita juga mesti memiliki niat yang tulus ikhlas dalam hal ini serta tekad untuk selalu menambah pengetahuan agama lebih dalam dan belajar kepada asatidz/guru yang benar-benar memiliki kapasitas dalam ilmu agama islam yang murni.
Selanjutnya, kita berdakwah kepada orang-orang terdekat kita terlebih dahulu karena tugas dakwah kita yang paling utama adalah bagaimana agar diri kita dan keluarga kita agar dijaga Allah dari siksa api neraka. Allah Ta’ala berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”. (QS. at-tahrim/66:6)
Semoga Allah menjadikan kita bagian dari hamba-hamba-Nya yang selalu dalam naungan hidayah dan inayah-Nya, menjadi hamba Allah yang memiliki peran dalam mengakkan kalimatullah sebagai hujjah kita untuk dihari akhir kelak yang dapat menjadi pembuka syafaat dari Allah Taala.
Yogyakarta, 13 Rajab 1441 H
Fauzan Hidayat
MasyaAllah
BalasHapus